saat ini semua makalah di alihkan ke maininternetonline.blogspot.com
silahkan menuju blog baru saya dan dapatkan makalah lengkap klik disini

Sabtu, 12 April 2008

membeli barang curian = mencuri

Di antara bentuk yang diharamkan Islam sebagai usaha untuk memberantas kriminalitas dan membatasi keleluasaan pelanggaran oleh si pelanggar, ialah tidak halal seorang muslim membeli sesuatu yang sudah diketahui, bahwa barang tersebut adalah hasil rampokan dan curian atau sesuatu yang diambil dari orang lain dengan jalan yang tidak benar. Sebab kalau dia berbuat demikian, sama dengan membantu perampok, pencuri dan pelanggar hak untuk merampok, mencuri dan melanggar hukum.Rasulullah s.a.w. pernah bersabda sebagai berikut:"Barangsiapa membeli barang curian, sedang dia mengetahui bahwa barang tersebut adalah curian, maka dia bersekutu dalam dosa yang cacat." (Riwayat Baihaqi)Dosa ini tidak dapat terhapus karena lamanya barang yang dicuri dan dirampok itu, sebab lamanya waktu dalam pandangan syariat Islam tidak dapat menjadikan sesuatu yang haram menjadi halal. Hak pemilik yang asli tidak dapat gugur lantaran berlalunya waktu. Demikian menurut ketetapan ahli-ahli hukum sipil.

sumber: http://www.garas1.blogspot.com/

zakat

Bicara soal zakat dikaitkan dengan pemerataan ada kesanmemaksakan diri, mangada-ada!. Tapi, anehnya orang tak kunjungkapok menjadikannya sebagai tema. Seolah-olah yang pentingbukan kesepadanan konsep zakat dengan pemerataan. Tapi adanyakekuatan ghaib, magic, yang tersimpan dalam kata-kata "zakat"itu sendiri. Ibarat figur, kata-kata zakat diyakini sebagaitokoh imam mahdi atau ratu adil yang meski pun sangat sulitorang mencernanya, tapi dalam hati tetap bercokol keyakinan,suatu saat nanti, lambat atau cepat, kehebatan dan mukjizatnyadiperlihatkan juga. Sesungguhnyalah, mengkaitkan soal pemerataan, bahkan keadilansekaligus, dengan konsep zakat bukan merupakan hal yang takmasuk akal. Bahkan mengkaitkannya dengan rukun Islam yang lain(syahadat, shalat, puasa, juga haji) bukan merupakan perkaramustahil. Misalnya karena kekhusyukannya dalam menunaikanshalat, seseorang yang kebetulan kaya raya tiba-tibaterpanggil menginfakkan seluruh hartanya untuk menghidupiorang-orang miskin, orang ini terbuka tabir kerohaniannya.Tanpa diduga-duga orang ini tiba-tiba tersadarkan bahwa dialam dunia ini, seseorang boleh tak punya apa-apa, atau hanyapas-pasan saja, yang penting adalah keterpautan hati secaraterus menerus untuk menyebut nama-nama Nya. Ajaib! Tapi,bagaimanapun hal ini memang tak mustahil. Masalahnya, dengan segala ajarannya, Islam bukanlah sejenishalte tempat orang menunggu dengan kepasifan, di mana akanmunculnya momen-momen ajaib yang lahir atas campur tanganlangsung Tuhan seperti digambarkan di atas. Karena Islamdatang sebagai petunjuk untuk manusia dan diterapkan olehmanusia dalam kapasitas kodratinya yang wajar-wajar saja.Yakni manusia sebagai makhluk Tuhan yang memiliki segalakemungkinan dan potensi kebaikan maupun keburukan, kekuatanmaupun kelemahan. Manusia yang bisa salah bisa benar, bisabaik bisa jahat, bisa meng-iblis tapi juga bisa menjadilaiknya malaikat. Sementara untuk manusia yang luar biasa,manusia yang dengan hak prerogatif Tuhan hanya memilikikemungkinan baik, atau hanya memiliki potensi buruk --kalausaja yang demikian itu ada dalam kenyataan Islam-- Islam takpunya urusan. Sebagai agama yang datang untuk kehidupan manusia dalam ukuranyang normal atau yang wajar, Islam tak saja harus ma'qul(sensible), tapi sekaligus juga ma'mul (applicable). Ma'qulartinya bisa dicerna logika penalaran, sedang ma'mul artinyabisa dicerna logika kesejarahan. Logika pemikiran hadir dalamujud rnaqal yang bersifat teoritis, logika kesejarahan hadirdalam ujud hal yang bersifat empirik. Berbeda dengan logikateoritis yang bersifat abstrak dan subyektif, logika empirisbersifat konkrit dan obyektif. Suatu ajaran untuk bisa disebutma'mul, harus bisa dijabarkan dalam kerangka kerja sistem yangbisa dirancang, dikontrol dan bisa diukur. Ini berarti bahwayang ma'qul belum tentu matmul, tapi yang ma'mul secaraimplisit haruslah ma'qul. Kembali pada pokok soal, tentang "pemerataaan" atau lebihmendasar lagi soal "keadilan sosial," orang bisa sajamengatakan bahwa semua rukun Islam yang lima cukup ma'quluntuk memecahkannya. Tapi dari semua yang ma'qul itu,satu-satunya yang sekaligus ma'mul adalah rukun yang ketiga,yakni zakat. Karena seperti halnya tema pemerataan, ataukeadilan sosial, yang titik berangkatnya adalah padapemerataan akses sumber daya materi, zakat adalah satu-satunyarukun Islam yang berkaitan langsung dengan persoalan materiitu. Benar bahwa haji pun bersentuhan dengan soal materi, tapihanya sebagai sarana yang tetap ada di luar zat-Nya. Lebih dari sekedar meletakkan soal penguasaan sumber dayamateri sebagai subyeknya, zakat --berbeda dengan haji-- bahkanmeletakkannya sebagai sesuatu yang harus diatur sedemikianrupa agar kemungkinannya untuk menumpuk hanya pada kalangantertentu (aghniya) bisa dihindarkan, atau ditekanserendah-rendahnya. Sasarannya bukan agar semua orang memilikibagian secara sama rata, rata sedikitnya atau banyaknya. Tapiagar tak terjadi suasana ketimpangan, dimana sebagian yanglain hampir-hampir tak memiliki sama sekali. Sebab bermuladari ketimpangan dalam hal materi (ekonomi), ketimpangan dibidang yang lain (politik dan budaya) hampir pasti selalu sajamembuntuti. Maka konsep dasar zakat sebagai mekanisme redistribusikekayaan (materi) adalah pengalihan sebagian aset materi yangdimiliki kalangan kaya (yang memiliki lebih dari yangdiperlukan) untuk kemudian didistribusikan pada mereka yangtak punya (fakir miskin dan sejenisnya) dan kepentinganbersama. Seyogyanyalah pengalihan itu dilaksanakan kalanganberada atas kesadaran mereka sendiri. Tapi karena manusiamengidap nafsu "cinta harta" (hub-u 'l-dunya), maka kehadiranlembaga yang memiliki kewenangan memaksa untuk melakukanpengalihan itu pun menjadi tak terelakkan. Lembaga itu, yangdalam realitas sosiologis memuncak pada apa yang dikenaldengan negara (state), dari sudut moral memang merupakananomali. Tapi lembaga anomali tersebut perlu justru untukmenjadi penawar bagi anomali lain yang ada pada diri manusia,yakni nafsu gila harta (keduniaan) tadi. Tapi disinilah persoalannya, lembaga negara yang secara moralhanya bisa dijustified sepanjang berfungsi sebagai racunpenawar terhadap kerakusan duniawi masyarakat manusia (yangkuat), dalam sejarahnya justru cenderung memainkan peranterbalik. Ia dengan segala perangkat lunaknya (seperti sistemhukum dan perundang-undangan) maupun yang keras (sepertisatelit pengintai dan senjata rudalnya) seringkali menjadialat bagi kepentingan "penyakit keduniaan" yang seharusnyadinetralisir oleh keberadaannya. Maka bisa dimengerti apabilapernah muncul suatu obsesi dalam sejarah pemikiran manusiayang mengimpikan suatu zaman dimana apa yang disebut lembaganegara itu tak usah ada lagi. Ajaran Nabi Isa secara implisitingin sekali mengingkari keberadaannya. Juga ajaran Karl Marx,18 abad kemudian secara eksplisit mengidealkan kepunahannya.Zaman idaman baginya adalah zaman ketika lembaga negara telahlenyap berikut seluruh akar-akarnya. Syahdan, dalam sejarah politik kenegaraan modern, konsep pajaksedikit banyak sudah mulai diberi fungsi redistribusi kekayaanseperti tersebut di atas. Bahkan dengan tarif begitu tinggiyang disebut dengan pajak progresif. Tapi persoalannya,setelah pajak yang tinggi itu ditarik dari masyarakat wajibpajak, apakah memang kemudian ditasarufkan untuk mengangkatkehidupan mereka yang tak punya dan untuk kemaslahatan semuapihak? Inilah persoalan dasar, siapa yang sebenarnya palingdiuntungkan oleh pranata pajak yang ditangani lembaga negara,atau oleh hampir semua negara di atas bumi ini? Pertanyaan tersebut mengena bukan saja terhadap lembaga negarayang dikelola secara otoriter, atau semi otoriter, sepertiyang terjadi di banyak bumi belahan Timur, tapi juga terhadapnegara-negara lain yang mengaku berjalan secara demokratis,seperti Amerika dan negara-negara Barat. Memang lebih gilalagi, secara lahir batin, adalah negara-negara monarki absolutzaman dulu. Apabila negara di zaman modern sudah mulaimelibatkan rakyat melalui wakil-wakilnya dalam menentukanpenggunaan uang pajaknya melalui undang-undang, negara monarkiabsolut memandang kewenangan pengalokasian uang pajak(upeti/tax) sepenuhnya di tangan sang raja saja. Tapi ya itu tadi, dengan peranan lembaga perwakilan rakyatdalam tata kenegaraan modern belum menjadi jaminan bahwa uangpajak akan ditasarufkan dengan prioritas utama bagi pembebasanrakyat lemah. Dimulai dari pembebasan di bidang ekonomi,kemudian menyusul bidang-bidang kehidupan lain yang lebihsublim, politik dan budaya. Penjelasannya sederhana, dinegara-negara Timur yang paternalistik, keberadaan lembagaperwakilan rakyat umumnya hanya merupakan permainan politikkalangan elite penguasa. Lembaga Perwakilan Rakyat hanyalahsekedar "nama dan proforma". Kesadaran dan perilaku merekatetaplah untuk mengelabui rakyat bagi kepentingan parapenguasa yang mengatur keberadaan mereka. Lembaga PerwakilanRakyat di negara-negara Timur yang paternalistik, padahakekatnya adalah lembaga Perwakilan Penguasa. Di negara-negara Barat yang liberal-kapitalistik, independensilembaga perwakilan rakyat dengan penguasa (baca: eksekutif)memang cukup kuat. Tapi hal itu tetap bukan (belum?) dalamrangka penegakkan kontrol atas lembaga negara bagi kepentinganrakyat; lebih-lebih rakyat pada lapisannya yang paling jelata.Berbeda dengan di Timur, di Barat negara memang sudah tak lagisepenuhuya milik penguasa (kaum bangsawan, aristokrat, baiksecara keturunan maupun SK jabatan seperti di Timur). Tapijuga belum berarti telah kembali pada pemiliknya yang sah,yaitu rakyat keseluruhan yang dimulai dari lapisannya yangpaling jelata. Di Barat negara dengan seluruh soko gurunya(eksekutif, legislatif maupun judikatif), sudah berada ditangan rakyat, tapi baru yang ada di lapisan menengah danterutama lapisan atas. Mereka yang ada di lapisan bawah, yangjustru merupakan pemilik utama sebutan "rakyat" kapan saja iadiucapkan, masih jauh dari dapat disebut memiliki negara. Hal tersebut dapat dilihat dengan jelas, misalnya, dalamalokasi penggunaan dana pajak dalam APBN mereka. Bagian yangpaling besar dari dana itu diperuntukkan untuk melindungi ataumelayani kepentingan kelas menengah ke atas. Apakah melaluisektor pertahanan dalam pengertian yang luas dengan dalih demikepentingan nasional mereka, atau melalui sektor pembangunansarana-sarana mana yang diperuntukkan utamanya bagi kalanganmasyarakat kelas menengah ke atas. Berapa anggaran belanjayang diperuntukkan bagi pembebasan rakyat (jelata), samasekali tak berarti. Bahwa di negara-negara Eropa dan Amerikayang pendapatan perkapitanya telah mencapai angka 8 ribusampai 11 ribu dollar pertahun masih banyak warga negara yangtuna wisma (homeless) adalah bukti yang sangat cukup bahwarakyat jelata di sana memang belum bisa disebut ikut memilikinegara. Memang ada drama yang menarik, dan bisa mengelabui banyakorang, seolah negara-negara liberal kapitalis Barat itu telahmenempatkan dirinya di bawah kepentingan rakyat sejati, kaumlemah dan melarat. Drama itu pementasannya di masyarakatbangsa negara-negara Timur yang umumnya miskin dan lemah.Setiap kali bencana dan musibah terjadi di masyarakat duniaTimur, negara-negara Barat segera menunjukkan kedermawanannya(charity). Lebih dari itu, apabila negara-negara Timur yangmiskin itu memerlukan perbaikan ekonomi, mereka siapmenawarkan bantuannya. Baik yang berupa hibah (grant) maupunyang berupa pinjaman (loan). Akibat permainan drama kolosal ini, banyak orang terhegemoniuntuk meyakini bahwa Barat memang teladan dunia; sistemkenegaraan/pemerintahan yang liberal-kapitalistik memangmerupakan pilihan sejarah terbaik dan terakhir. Padahal, jikadilihat sedikit lebih kritis, akan segera tampak pada kitabahwa apa yang diperbuat negara-negara Barat tetaplah demikepentingan mereka sendiri, sama sekali bukan demi kepentinganrakyat dan bangsa negara-negara Timur. Dan kepentingan mereka(negara-negara Barat), seperti disebutkan di atas adalahkepentingan kelompok yang mengontrol roda kenegaraan ataupemerintahan, yakni kelompok orang-orang yang secara politikmengendalikan jalannya pemerintahan itu sendiri dan kalanganpara kaya kapitalis, selaku cukongnya. Sampai titik ini sebenarnya telah jelas bagi kita bahwa,sekurang-kurangnya dalam tingkat verbal, ide dasar dari zakatbukan sesuatu yang sama sekali asing dalam struktur pemikirankenegaraan, lebih-lebih kenegaraan modern. Dengan pranatapajaknya ide zakat (bahwa yang kuat harus menanggung beban)sudah banyak dilaksanakan oleh hampir semua negara di jamanini, bahkan dalam tarif yang begitu tinggi. Hanya masalahnya,bahwa beban yang ditimpakan kepada mereka yang punya, yaknibeban pajak, ternyata digelapkan oleh negara sehingga taksampai ke alamat (mustahiq) yang semestinya. Di dunia Timuryang feodalistik, dana pajak yang dikenakan atas orang-orangkaya dibelokkan pentasarufannya untuk kepentingan parapenguasa untuk mempertahankan kekuasaannya. Sementara di Baratyang liberal-kapitalistik, dana pajak yang semestinyadiprioritaskan pentasarufannya untuk memperkuat yang lemah,diputarkan kembali untuk melipat gandakan kekuatan mereka yangsudah kuat, yakni kaum kapitalis dan tentu saja para elitepolitik sebagai pengawal kepentingan-kepentingannya. Dengan kata lain persoalan pokok dalam topik redistribusikekayaan (asset) untuk pemerataan, dan kemudian keadilansosial dalam tatarannya yang lebih luas, agaknya tak lagiterutama terletak pada kalangan kaya. Memang di sana bukan takada masalah sama sekali. Nafsu kerakusan mereka untukmengakumulasikan kekayaan lebih banyak dan lebih banyak lagi,jelas merupakan persoalan yang tetap serius bagi idepemerataan dan keadilan. Tapi fakta bahwa dalam kerakusannyamereka bisa diikat komitmennya untuk menyisihkan sebagian darikekayaannya (berupa pajak) adalah bukti bahwa persoalan pokoktak lagi sepenuhnya di tangan mereka. Persoalan pokok itu kinijelas terutama ada di pihak apa yang kita sebut lembaganegara. Karena dia (lembaga negara)-lah yang berbuatselingkuh. So, what?! Menuruti obsesi Marx bahwa lembaga negara mesti dienyahkanatau pengingkaran Isa as. terhadap lembaga itu rasa-rasanyatak realistik. Negara, apalagi dalam pengertian yang lebihluas sebagai lembaga permufakatan kolektif, betapa punkonyolnya tidaklah mungkin dihindari. Mengingkari lembaganegara untuk semangat (ruh) kolektivitas manusia hukumnya samabelaka dengan mengingkari badan bagi ruh individualitasmanusia. Seperti halnya badan (kecil), negara sebagai badanbesar pun mengidap nafsu-nafsu (interests) negatif duniawiyang selalu cenderung memperalat dirinya. Tapi denganbercokolnya nafsu-nafsu itu pada badan, tak seorang pun--kecuali langka, kalau pun ada-- yang pernah menyarankanjalan keluar agar badan itu dimusnahkan saja daripadadiperalat oleh nafsu-nafsu negatif yang melekat padanya Yangpaling sehat dan fitri (Islami) tentulah pendirian yangmengatakan, "Biarlah badan itu tetap ada dan tumbuh dengankewajarannya. Tapi dengan pengawasan atau kontrol yang terusmenerus jangan sampai jatuh dan diperalat oleh nafsu-nafsujahat yang mengitarinya." Demikianlah Muhammad Rasulullah sebagai teladan umat manusiatak perlu menyatakan penolakan terhadap keberadaan lembaganegara. Bahkan beliau sendiri dengan komunitasnya, dengansadar telah membangun lembaga itu. Tapi inilah kuncinya,lembaga kenegaraan itu beliau bangun dengan kewaspadaan penuh,dengan meyakinkan masyarakat akan pentingnya kontrol sosial(amar ma'ruf nahi munkar) secara terus menerus, agarkeberadaan lembaga negara itu tetap sebagai alat, bukan bagikepentingan penguasa atau kalangan kaya, melainkan bagikepentingan seluruh rakyat yang ada dalam otoritasnya. Darisudut konsepsi zakat, kedudukan negara atau kekuasaanpemerintahan adalah amil yang harus melayani kepentingansegenap rakyat, dengan membebaskan kemaslahatan (keadilan dankesejahteraan) bagi semuanya. Memang untuk menegakkan keadilan sosial dalam semangat dankerangka zakat, ada pekerjaan rumah (PR) yang harusdiselesaikan lebih dahulu. Konsepsi tentang ajaran zakat (danpada akhirnya tentang bangunan fiqh secara keseluruhan) yangsudah terlanjur mendogma di kalangan umat selama lebih darisepuluh abad, harus ditransformasikan terlebih dahulu.Pekerjaan ini berat dan memakan waktu. Sebagian orang mungkinmerasa lebih aman dalam dekapan dogma lama ketimbang harusberspekulasi dengan pamahaman ajaran yang "baru." Tapi tanpakeberanian moral dan intelektual untuk melakukan perubahanitu, maka pengkaitan ajaran Zakat dengan cita pemerataan,apalagi keadilan, tak lebih hanyalah mitos belaka.

sumber: http://garas1.blogspot.com/2008/03/zakat.html

Mengurangi Timbangan

Salah satu macam penipuan ialah mengurangi takaran dan timbangan. Al-Quran menganggap penting persoalan ini sebagai salah satu bagian dari mu'amalah, dan dijadikan sebagai salah satu dari sepuluh wasiatnya di akhir surat al-An'am, yaitu:"Penuhilah takaran dan timbangan dengan jujur, karena Kami tidak memberi beban kepada seseorang melainkan menurut kemampuannya." (al-An'am: 152)"Penuhilah takaran apabila kamu menakar, dan timbanglah dengan jujur dan lurus, yang demikian itu lebih baik dan sebaik-baik kesudahan. (al-Isra': 35)"Celakalah orang-orang yang mengurangi, apabila mereka itu menakar kepunyaan orang lain (membeli) mereka memenuhinya, tetapi jika mereka itu menakarkan orang lain (menjual) atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi. Apakah mereka itu tidak yakin, bahwa kelak mereka akan dibangkitkan dari kubur pada suatu hari yang sangat besar, yaitu suatu hari di mana manusia akan berdiri menghadap kepada Tuhan seru sekalian alam?!" (al-Muthafifin: 1-6)Oleh karena itu setiap muslim harus berusaha sekuat tenaga untuk berlaku adil (jujur), sebab keadilan yang sebenarnya jarang bisa diujudkan. Justru itu sesudah perintah memenuhi timbangan, al-Quran kemudian berkata:"Kami tidak memberi beban kepada seseorang, melainkan menurut kemampuannya."Al-Quran juga telah mengisahkan kepada kita tentang ceritera suatu kaum yang curang dalam bidang mu'amalah dan menyimpang dari kejujurannya dalam hal takaran dan timbangan. Kepunyaan orang lain selalu dikuranginya. Kemudian oleh Allah dikirimnya seorang Rasul untuk mengembalikan mereka itu kepada kejujuran dan kebaikan disamping dikembalikannya kepada Tauhid.Mereka yang dimaksud ialah kaumnya Nabi Syu'aib. Nabi Syu'aib menyeru dan sekaligus memberikan saksi kepada mereka sebagai berikut:"Penuhilah takaran dan jangan kamu menjadi orang yang suka mengurangi; dan timbanglah dengan jujur dan lurus, dan jangan mengurangi hak orang lain dan jangan kamu berbuat kerusakan di permukaan bumi." (As-Syu'ara': 181-183)Mu'amalah seperti ini suatu contoh yang harus dilaksanakan oleh setiap muslim dalam kehidupannya, pergaulannya dan mu'amalahnya. Mereka tidak diperkenankan menakar dengan dua takaran atau menimbang dengan dua timbangan; timbangan pribadi dan timbangan untuk umum; timbangan yang menguntungkan diri dan orang yang disenanginya, dan timbangan untuk orang lain. Kalau untuk dirinya sendiri dan pengikutnya dia penuhi timbangan, tetapi untuk orang lain dia kuranginya.

sumber: http://www.garas1.blogspot.com/

Riba adalah haram

Islam membenarkan pengembangan uang dengan jalan perdagangan. Seperti firman Allah:"Hai orang-orang yang beriman! Jangan kamu makan harta kamu di antara kamu dengan cara yang batil, kecuali dengan jalan perdagangan dengan adanya saling kerelaan dari antara kamu." (an-Nisa': 29)Islam sangat memuji orang yang berjalan di permukaan bumi untuk berdagang. Firman Allah:"Sedang yang lain berjalan di permukaan bumi untuk mencari anugerah Allah." (al-Muzammil: 20)Akan tetapi Islam menutup pintu bagi siapa yang berusaha akan mengembangkan uangnya itu dengan jalan riba. Maka diharamkannyalah riba itu sedikit maupun banyak, dan mencela orang-orang Yahudi yang menjalankan riba padahal mereka telah dilarangnya.Di antara ayat-ayat yang paling akhir diturunkan ialah firman Allah dalam surat al-Baqarah:"Hai orang-orang yang beriman! Takutlah kepada Allah, dan tinggalkanlah apa yang tertinggal daripada riba jika kamu benar-benar beriman. Apabila kamu tidak mau berbuat demikian, maka terimalah peperangan dari Allah dan Rasul-Nya, dan jika kamu sudah bertobat, maka bagi kamu adalah pokok-pokok hartamu, kamu tidak boleh berbuat zalim juga tidak mau dizalimi." (al-Baqarah: 278-279)Allah telah memproklamirkan perang untuk memberantas riba dan orang-orang yang meribakan harta serta menerangkan betapa bahayanya dalam masyarakat, sebagaimana yang diterangkan oleh Nabi:"Apabila riba dan zina sudah merata di suatu daerah, maka mereka telah menghalalkan dirinya untuk mendapat siksaan Allah." (Riwayat Hakim; dan yang seperti itu diriwayatkan juga oleh Abu Ya'la dengan sanad yang baik)Dalam hal ini Islam bukan membuat cara baru dalam agama-agama samawi lainnya. Dalam agama Yahudi, di Perjanjian Lama terdapat ayat yang berbunyi: "Jikalau kamu memberi pinjam uang kepada ummatku, yaitu baginya sebagai penagih hutang yang keras dan jangan ambil bunga daripadanya." (Keluaran 22:25).Dalam agama Kristen pun terdapat demikian. Misalnya dalam Injil Lukas dikatakan: "Tetapi hendaklah kamu mengasihi seterumu dan berbuat baik dan memberi pinjam dengan tiada berharap akan menerima balik, maka berpahala besarlah kamu..." (Lukas 6: 35).Sayang sekali tangan-tangan usil telah sampai pada Perjanjian Lama, sehingga mereka menjadikan kata Saudaramu --yang dalam terjemahan di atas diartikan Hambaku pent.-- dikhususkan buat orang-orang Yahudi, sebagaimana diperjelas dalam fasal Ulangan 23:20 "Maka daripada orang lain bangsa boleh kamu mengambil bunga, tetapi daripada saudaramu tak boleh kamu mengambil dia ..."

sumber: http://www.garas1.blogspot.com/

Hukum bekerja di Bank

PERTANYAAN Saya tamatan sebuah akademi perdagangan yang telah berusahamencari pekerjaan tetapi tidak mendapatkannya kecuali disalah satu bank. Padahal, saya tahu bahwa bank melakukanpraktek riba. Saya juga tahu bahwa agama melaknat penulisriba. Bagaimanakah sikap saya terhadap tawaran pekerjaanini? JAWABAN Sistem ekonomi dalam Islam ditegakkan pada asas memerangiriba dan menganggapnya sebagai dosa besar yang dapatmenghapuskan berkah dari individu dan masyarakat, bahkandapat mendatangkan bencana di dunia dan di akhirat. Hal ini telah disinyalir di dalam Al Qur'an dan As Sunnahserta telah disepakati oleh umat. Cukuplah kiranya jika Andamembaca firman Allah Ta'ala berikut ini: "Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa." (Al Baqarah: 276) "Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketabuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu ..." (Al Baqarah: 278-279) Mengenai hal ini Rasulullah saw. bersabda "Apabila zina dan riba telah merajalela di suatu negeri, berarti mereka telah menyediakan diri mereka untuk disiksa oleh Allah." (HR Hakim)1 Dalam peraturan dan tuntunannya Islam menyuruh umatnya agarmemerangi kemaksiatan. Apabila tidak sanggup, minimal iaharus menahan diri agar perkataan maupun perbuatannya tidakterlibat dalam kemaksiatan itu. Karena itu Islammengharamkan semua bentuk kerja sama atas dosa danpermusuhan, dan menganggap setiap orang yang membantukemaksiatan bersekutu dalam dosanya bersama pelakunya, baikpertolongan itu dalam bentuk moril ataupun materiil,perbuatan ataupun perkataan. Dalam sebuah hadits hasan,Rasulullah saw. bersabda mengenai kejahatan pembunuhan: "Kalau penduduk langit dan penduduk bumi bersekutu dalam membunuh seorang mukmin, niscaya Allah akan membenamkan mereka dalam neraka." (HR Tirmidzi) Sedangkan tentang khamar beliau saw. bersabda: "Allah melaknat khamar, peminumnya, penuangnya, pemerahnya, yang meminta diperahkan, pembawanya, dan yang dibawakannya." (HR Abu Daud dan Ibnu Majah) Demikian juga terhadap praktek suap-menyuap: "Rasulullah saw. melaknat orang yang menyuap, yang menerima suap, dan yang menjadi perantaranya." (HR Ibnu Hibban dan Hakim) Kemudian mengenai riba, Jabir bin Abdillah r.a. meriwayatkan: "Rasulullah melaknat pemakan riba, yang memberi makan dengan hasil riba, dan dua orangyang menjadi saksinya." Dan beliau bersabda: "Mereka itu sama." (HR Muslim) Ibnu Mas'ud meriwayatkan: "Rasulullah saw. melaknat orang yang makan riba dan yang memberi makan dari hasil riba, dua orang saksinya, dan penulisnya." (HR Ahmad, Abu Daud, Ibnu Majah, dan Tirmidzi)2 Sementara itu, dalam riwayat lain disebutkan: "Orang yang makan riba, orang yang memben makan dengan riba, dan dua orang saksinya --jika mereka mengetahui hal itu-- maka mereka itu dilaknat lewat lisan Nabi Muhammad saw. hingga han kiamat." (HR Nasa'i) Hadits-hadits sahih yang sharih itulah yang menyiksa hatiorang-orang Islam yang bekerja di bank-bank atau syirkah(persekutuan) yang aktivitasnya tidak lepas daritulis-menulis dan bunga riba. Namun perlu diperhatikan bahwamasalah riba ini tidak hanya berkaitan dengan pegawai bankatau penulisnya pada berbagai syirkah, tetapi hal ini sudahmenyusup ke dalam sistem ekonomi kita dan semua kegiatanyang berhubungan dengan keuangan, sehingga merupakan bencanaumum sebagaimana yang diperingatkan Rasulullah saw.: "Sungguh akan datang pada manusia suatu masa yang pada waktu itu tidak tersisa seorangpun melainkan akan makan riba; barangsiapa yang tidak memakannya maka ia akan terkena debunya." (HR Abu Daud dan Ibnu Majah) Kondisi seperti ini tidak dapat diubah dan diperbaiki hanyadengan melarang seseorang bekerja di bank atau perusahaanyang mempraktekkan riba. Tetapi kerusakan sistem ekonomiyang disebabkan ulah golongan kapitalis ini hanya dapatdiubah oleh sikap seluruh bangsa dan masyarakat Islam.Perubahan itu tentu saja harus diusahakan secara bertahapdan perlahan-lahan sehingga tidak menimbulkan guncanganperekonomian yang dapat menimbulkan bencana pada negara danbangsa. Islam sendiri tidak melarang umatnya untuk melakukanperubahan secara bertahap dalam memecahkan setiappermasalahan yang pelik. Cara ini pernah ditempuh Islamketika mulai mengharamkan riba, khamar, dan lainnya. Dalamhal ini yang terpenting adalah tekad dan kemauan bersama,apabila tekad itu telah bulat maka jalan pun akan terbukalebar. Setiap muslim yang mempunyai kepedulian akan hal inihendaklah bekerja dengan hatinya, lisannya, dan segenapkemampuannya melalui berbagai wasilah (sarana) yang tepatuntuk mengembangkan sistem perekonomian kita sendiri,sehingga sesuai dengan ajaran Islam. Sebagai contohperbandingan, di dunia ini terdapat beberapa negara yangtidak memberlakukan sistem riba, yaitu mereka yang berpahamsosialis. Di sisi lain, apabila kita melarang semua muslim bekerja dibank, maka dunia perbankan dan sejenisnya akan dikuasai olehorang-orang nonmuslim seperti Yahudi dan sebagainya. Padaakhirnya, negara-negara Islam akan dikuasai mereka. Terlepas dari semua itu, perlu juga diingat bahwa tidaksemua pekerjaan yang berhubungan dengan dunia perbankantergolong riba. Ada diantaranya yang halal dan baik, sepertikegiatan perpialangan, penitipan, dan sebagainya; bahkansedikit pekerjaan di sana yang termasuk haram. Oleh karenaitu, tidak mengapalah seorang muslim menerima pekerjaantersebut --meskipun hatinya tidak rela-- dengan harapan tataperekonomian akan mengalami perubahan menuju kondisi yangdiridhai agama dan hatinya. Hanya saja, dalam hal inihendaklah ia rnelaksanakan tugasnya dengan baik, hendaklahmenunaikan kewajiban terhadap dirinya dan Rabb-nya besertaumatnya sambil menantikan pahala atas kebaikan niatnya: "Sesungguhnya setiap orang memperoleh apa yang ia niatkan." (HR Bukhari) Sebelum saya tutup fatwa ini janganlah kita melupakankebutuhan hidup yang oleh para fuqaha diistilahkan telahmencapai tingkatan darurat. Kondisi inilah yang mengharuskansaudara penanya untuk menerima pekerjaan tersebut sebagaisarana mencari penghidupan dan rezeki, sebagaimana firmanAllah SWT: "... Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (Al Baqarah: 173} Catatan kaki:1 Hakim mengatakan bahwa hadits ini sahih isnadnya.2 Tirmidzi mensahihkannya. Hadits ini diriwayatkan pula oleh Ibnu Hibban dan Hakim, dan mereka mensahihkannya.

sumber: http://www.garas1.blogspot.com/

Bunga Bank

Saya seorang pegawai golongan menengah, sebagian penghasilansaya tabungkan dan saya mendapatkan bunga. Apakah dibenarkansaya mengambil bunga itu? Karena saya tahu Syekh Syaltutmemperbolehkan mengambil bunga ini. Saya pernah bertanya kepada sebagian ulama, di antara merekaada yang memperbolehkannya dan ada yang melarangnya. Perlusaya sampaikan pula bahwa saya biasanya mengeluarkan zakatuang saya, tetapi bunga bank yang saya peroleh melebihizakat yang saya keluarkan. Jika bunga uang itu tidak boleh saya ambil, maka apakah yangharus saya lakukan? JAWABAN Sesungguhnya bunga yang diambil oleh penabung di bank adalahriba yang diharamkan, karena riba adalah semua tambahan yangdisyaratkan atas pokok harta. Artinya, apa yang diambilseseorang tanpa melalui usaha perdagangan dan tanpaberpayah-payah sebagai tambahan atas pokok hartanya, makayang demikian itu termasuk riba. Dalam hal ini Allahberfirman: "Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertobat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya." (Antara lain Baqarah: 278-279) Yang dimaksud dengan tobat di sini ialah seseorang tetappada pokok hartanya, dan berprinsip bahwa tambahan yangtimbul darinya adalah riba. Bunga-bunga sebagai tambahanatas pokok harta yang diperoleh tanpa melalui persekutuanatas perkongsian, mudharakah, atau bentuk-bentuk persekutuandagang lainnnya, adalah riba yang diharamkan. Sedangkan gurusaya Syekh Syaltut sepengetahuan saya tidak pernahmemperbolehkan bunga riba, hanya beliau pernah mengatakan:"Bila keadaan darurat --baik darurat individu maupun daruratijtima'iyah-- maka bolehlah dipungut bunga itu." Dalam halini beliau memperluas makna darurat melebihi yangsemestinya, dan perluasan beliau ini tidak saya setujui.Yang pernah beliau fatwakan juga ialah menabung di banksebagai sesuatu yang lain dari bunga bank. Namun, saya tetaptidak setuju dengan pendapat ini. Islam tidak memperbolehkan seseorang menaruh pokok hartanyadengan hanya mengambil keuntungan. Apabila dia melakukanperkongsian, dia wajib memperoleh keuntungan begitupunkerugiannya. Kalau keuntungannya sedikit, maka dia berbagikeuntungan sedikit, demikian juga jika memperoleh keuntunganyang banyak. Dan jika tidak mendapatkan keuntungan, dia jugaharus menanggung kerugiannya. Inilah makna persekutuan yangsama-sama memikul tanggung jawab. Perbandingan perolehan keuntungan yang tidak wajar antarapemilik modal dengan pengelola --misalnya pengelolamemperoleh keuntungan sebesar 80%-90% sedangkan pemilikmodal hanya lima atau enam persen-- atau terlepasnyatanggung jawab pemilik modal ketika pengelola mengalamikerugian, maka cara seperti ini menyimpang dari sistemekonomi Islam meskipun Syeh Syaltut pernah memfatwakankebolehannya. Semoga Allah memberi rahmat dan ampunan kepadabeliau. Maka pertanyaan apakah dibolehkan mengambil bunga bank, sayajawab tidak boleh. Tidak halal baginya dan tidak boleh iamengambil bunga bank, serta tidaklah memadai jika iamenzakati harta yang ia simpan di bank. Kemudian langkah apa yang harus kita lakukan jika menghadapikasus demikian? Jawaban saya: segala sesuatu yang haram tidak boleh dimilikidan wajib disedekahkan sebagaimana dikatakan para ulamamuhaqqiq (ahli tahqiq). Sedangkan sebagian ulama yang wara'(sangat berhati-hati) berpendapat bahwa uang itu tidak bolehdiambil meskipun untuk disedekahkan, ia harus membiarkannyaatau membuangnya ke laut. Dengan alasan, seseorang tidakboleh bersedekah dengan sesuatu yang jelek. Tetapi pendapatini bertentangan dengan kaidah syar'iyyah yang melarangmenyia-nyiakan harta dan tidak memanfaatkannya. Harta itu bolehlah diambil dan disedekahkan kepada fakirmiskin, atau disalurkan pada proyek-proyek kebaikan ataulainnya yang oleh si penabung dipandang bermanfaat bagikepentingan Islam dan kaum muslimin. Karena harta haram itu--sebagaimana saya katakan-- bukanlah milik seseorang, uangitu bukan milik bank atau milik penabung, tetapi milikkemaslahatan umum. Demikianlah keadaan harta yang haram, tidak ada manfaatnyadizakati, karena zakat itu tidak dapat mensucikannya. Yangdapat mensucikan harta ialah mengeluarkan sebagian darinyauntuk zakat. Karena itulah Rasulullah saw. bersabda: "Sesungguhnya Allah tidak menerima sedekah dari hasil korupsi." (HR Muslim) Allah tidak menerima sedekah dari harta semacam ini, karenaharta tersebut bukan milik orang yang memegangnya tetapimilik umum yang dikorupsi. Oleh sebab itu, janganlah seseorang mengambil bunga bankuntuk kepentingan dirinya, dan jangan pula membiarkannyamenjadi milik bank sehingga dimanfaatkan karena hal ini akanmemperkuat posisi bank dalam bermuamalat secara riba. Tetapihendaklah ia mengambilnya dan menggunakannya padajalan-jalan kebaikan. Sebagian orang ada yang mengemukakan alasan bahwasesungguhnya seseorang yang menyõmpan uang di bank jugamemiliki risiko kerugian jika bank itu mengalami kerugiandan pailit, misalnya karena sebab tertentu. Maka sayakatakan bahwa kerugian seperti itu tidak membatalkan kaidah,walaupun si penabung mengalami kerugian akibat darikepailitan atau kebangkrutan tersebut, karena hal inimenyimpang dari kaidah yang telah ditetapkan. Sebabtiap-tiap kaidah ada penyimpangannya, dan hukum-hukum dalamsyariat Ilahi -demikian juga dalam undang-undang buatanmanusia-- tidak boleh disandarkan kepada perkara-perkarayang ganjil dan jarang terjadi. Semua ulama telah sepakatbahwa sesuatu yang jarang terjadi tidak dapat dijadikansebagai sandaran hukum, dan sesuatu yang lebih seringterjadi dihukumi sebagai hukum keseluruhan. Oleh karenanya,kejadian tertentu tidak dapat membatalkan kaidah kulliyyah(kaidah umum). Menurut kaidah umum, orang yang menabung uang (di bank)dengan jalan riba hanya mendapatkan keuntungan tanpamemiliki risiko kerugian. Apabila sekali waktu ia mengalamikerugian, maka hal itu merupakan suatu keganjilan ataupenyimpangan dari kondisi normal, dan keganjilan tersebuttidak dapat dijadikan sandaran hukum. Boleh jadi saudara penanya berkata, "Tetapi bank jugamengolah uang para nasabah, maka mengapa saya tidak bolehmengambil keuntungannya?" Betul bahwa bank memperdagangkan uang tersebut, tetapiapakah sang nasabah ikut melakukan aktivitas dagang itu.Sudah tentu tidak. Kalau nasabah bersekutu atau berkongsidengan pihak bank sejak semula, maka akadnya adalah akadberkongsi, dan sebagai konsekuensinya nasabah akan ikutmenanggung apabila bank mengalami kerugian. Tetapi padakenyataannya, pada saat bank mengalami kerugian ataubangkrut, maka para penabung menuntut dan meminta uangmereka, dan pihak bank pun tidak mengingkarinya. Bahkankadang-kadang pihak bank mengembalikan uang simpanantersebut dengan pembagian yang adil (seimbang) jikaberjumlah banyak, atau diberikannya sekaligus jika berjumlahsedikit. Bagaimanapun juga sang nasabah tidaklah menganggap dirinyabertanggung jawab atas kerugian itu dan tidak pula merasabersekutu dalam kerugian bank tersebut, bahkan merekamenuntut uangnya secara utuh tanpa kurang sedikit pun.

sumber: http://www.garas1.blogspot.com/

makalah islam


Free Indo Flash Mp3 Player at musik-live.net

Search Engine Submitter


Undergoing MyBlogLog Verification


© 2008 MAKALAH ISLAM |  free template by Blogspot tutorial